Mustafa, salah satu nelayan penangkap tuna di Bitung mengungkapkan, “Ini bisa tangkap tuna lebih cepat. Kita pakai untuk tangkap tuna yang sedang main-main (ada di dekat permukaan air).”
Dengan cara ini, alat yang dibutuhkan adalah benang pancing, layang-layang serta mata kail yang dilengkapi ikan tiruan terbuat dari plastik. Mata kail yang digunakan bercabang 3 dan berbentuk huruf J.
Cara memancingnya mirip dengan bermain layang-layang. Satu benang dikaitkan pada satu sisi layang-layang untuk dikendalikan oleh nelayan. Satu benang lagi terdapat di sisi lainnya untuk dihubungkan dengan mata kail.
“Kalau mancing kita tinggal tarik-tarik saja seperti bermain layangan,” kata Mustafa. Ketika ditarik, mata kail yang berupa ikan palsu akan meloncat, sehingga bergerak mirip dengan ikan. Gerakan ini akan memacu tuna datang mengejar dan akhirnya terjebak.
Mustafa mengaku, memancing ikan dengan cara ini hanya butuh waktu singkat. “Pakai ini 3 jam sudah pasti dapat ikan, lebih cepat,” katanya. Saat ini, rata-rata Mustafa mendapat 7 ekor tuna per kali melaut.
Ikan yang didapat biasanya dijual ke industri yang mengolah tuna. Untuk kualitas tuna terbaik (grade A), harganya saat ini mencapai Rp 38.000 per kilogram. Jumlah tangkapan ikan sendiri saat ini tengah menurun.
Ramah lingkungan
Cara penangkapan dengan handline, seperti yang dilakukan Mustafa, memiliki selektifitas lebih tinggi daripada jaring dan rawai (longline). Selektifitas alat pancing membantu meminimalkan ikut terpancingnya spesies yang tak menjadi target (bycatch).
Salah satu permasalahan yang mengemuka dalam penangkapan tuna adalah bycatch penyu. Penentuan alat pancing beserta jenis mata kail yang tepat sangat membantu untuk meminimalkanbycatch ini.
Alat pancing dengan layang-layang disebut juga kite line. Sebenarnya, cara pancing ini bukan hal baru tetapi telah diterapkan oleh nelayan di Jakarta, Banten, serta Sulwesi. Biasanya, nelayan yang menggunakannya adalah nelayan dengan kapal kecil.
(Kompas)
0 komentar:
Posting Komentar